Akhirnya perhelatan Jagongan Media Rakyat (JMR) 2014 terlewati sudah. Selama empat hari pada 23-26 Oktober 2014, beragam aktivitas di Jogja National Museum sebagai lokasi kegiatan nyaris tidak pernah berhenti. Prinsip bertemu, saling berbagi informasi pengetahuan dan kemudian berkomitmen melakukan sesuatu bersama-sama menjadi warna di seluruh kegiatan. Di balik kerumitan teknis khas kegiatan berskala besar, inilah roh sesungguhnya dalam setiap JMR.
Meski isu yang diperbincangkan dalam JMR 2014 begitu beragam, mayoritas memiliki benang penjalin yang mirip yaitu pemanfaatan teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi kerap diidentikkan sebagai penanda kemajuan peradaban. Proses produksi, distribusi dan konsumsi informasi tak lagi bisa dibatasi pelaku, ruang dan waktunya. Lalu, seakan secara tiba-tiba membawa perubahan drastis pada kebiasaan, tatanan, dan cara berpikir manusia. Konsep global village yang klasik dari Marshal Mc Luhan itu benar-benar menemukan konteksnya di era ini.
Arus informasi yang demikian luas pada akhirnya memang ditujukan untuk peningkatan kualitas hidup, dari soal kesejahteraan, pengetahuan hingga kesehatan. Para pelaku bisnis misalnya, berlomba menangguk untung berlipat dengan memperluas pasar secara daring (online). Begitu juga dengan pelajar dan pengajar, bisa mendapat rujukan pengetahuan dari sumber-sumber yang dulu tanpa internet hampir mustahil dijangkau.
Tapi tunggu, dahsyatnya badai informasi terbukti juga menyisakan pertanyaan tentang tata kelola informasi. Sebab meski sudah banyak regulasi, ternyata masih sulit menghadirkan informasi benar, transparan, partisipatif. Hubungan personal, penularan informasi bahkan pengambilan keputusan ternyata tak jarang didasarkan pada informasi sumir yang karena kekuatan media sosial lantas bisa berubah menjadi “kebenaran”.
Bagi gerakan masyarakat sipil, internet (baca: media sosial) mestinya dapat menjadi senjata ampuh mengonsolidasikan dukungan dan memperluas kampanye isu. Kemajuan teknologi informasi di satu sisi memberi banyak ruang inovasi. Namun pekerjaan rumah menjaga idealisme pengelolaan suara rakyat tidak pernah berakhir. Itulah titik penting setelah hajat JMR usai. Saatnya bagi semua pihak yang telah memertemukan pengalaman kolektifnya dan meramu beragam gagasan untuk kembali menapak “jalan pedang” pendampingan dan advokasi yang selama ini ditempuh.
Keberhasilan JMR 2014 tak hanya diukur saat penyelenggaraan, tapi juga saat ruang kolaborasi antarkomunitas dan pegiat terjadi usai perhelatan. Aktivitas yang jadi menu hajatan JMR sangat menyehatkan bagi yang percaya bahwa negara lebih butuh masyarakat yang kritis daripada yang mengangguk-angguk laksana boneka kucing lambang peruntungan.