BERITA

Kerentanan Terhadap Keamanan Digital Perempuan di Masa Pandemi

Dibaca 3 Menit

Pandemi membuat hampir seluruh warga di dunia harus menerapkan physical distancing dalam berbagai aktivitas. Kebijakan tersebut juga berlaku pada masa new normal atau kebiasaan baru.

Kebijakan physical distancing ini menyebabkan semua aktivitas luring beralih ke daring: mulai dari kegiatan belajar, belanja, dan bekerja yang dilakukan dari rumah atau Work From Home (WFH). Salah satu konsekuensinya, kerentanan terhadap keamanan digital meningkat.

Peningkatan kerentanan terhadap keamanan digital di masa pandemi ini lebih banyak dialami oleh perempuan. Walaupun, laki-laki dan gender lain juga berpotensi mengalami hal tersebut, tetapi perempuan memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi karena berkaitan dengan identitas gendernya.

Peningkatan kerentanan ini memunculkan berbagai risiko termasuk kekerasan berbasis gender online (KBGO). Dari data yang diterima oleh LBH Apik, selama satu bulan pertama kebijakan physical distancing diterapkan, yakni 19 Maret – 19 April 2020, terdapat 97 pengaduan melalui telepon dan surat elektronik. Ini merupakan peningkatan kasus pengaduan kekerasan yang terjadi di ranah daring. Jika dilihat secara global, dari data yang dikumpulkan oleh Badan PBB, UN Women, banyak remaja putri yang mendapatkan kiriman video porno selama mereka menggunakan aplikasi ngobrol di internet. Hal ini terungkap dalam diskusi virtual “Keamanan Digital Perempuan di Masa Pandemi” yang diadakan pada 27 Agustus 2020. Diskusi ini menghadirkan Kathleen Azali (EngageMedia), Ellen Kusuma (SAFEnet), Lamia Putri D. (CRI), dan dipandu oleh Idha Saraswati.

KBGO disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya saja seperti adanya kesenjangan pengetahuan digital antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan data dari Kaspersky Lab, sebanyak 34% perempuan tidak mengetahui mengenai malware, lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 23%. “Beberapa hal mendasar yang mereka tidak ketahui, seperti bagaimana menerapkan pin password pada ponsel, atau bagaimana mengelola password pada akun Facebook dan media sosial lainnya. Padahal, ini sangat penting untuk keamanan data pribadi. Hal ini dialami oleh para perempuan khususnya ibu rumah tangga di berbagai wilayah,” kata Lamia fasilitator keamanan digital Combine Resource Institution.

Faktor lainnya adalah faktor sosial, ekonomi dan budaya, di mana struktur masyarakat sendiri yang membuat perempuan dan gender lain menjadi lebih rentan terhadap KBGO. Menurut Ellen Kusuma, Sub Divisi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) SAFEnet, “KBGO ditimbulkan karena adanya mindset (pola pikir) patriarki di masyarakat dan ketimpangan relasi kuasa. Biasanya kerentanan lebih tinggi terjadi pada perempuan atau identitas gender nonbiner. Berbagai bentuk dari kekerasan yang dialami oleh perempuan seperti: rape threat atau serangan yang menyasar objektifikasi seksual pada tubuh, misalnya ancaman pemerkosaan,”

Sayangnya, fenomena ini dianggap wajar dan normal oleh masyarakat. Contohnya saja tindakan pengawasan atau surveillance yang juga dianggap wajar. Padahal, ini dapat menyebabkan terjadinya kerentanan keamanan digital. Walaupun, sebenarnya surveillance sudah ada sebelum adanya pandemi. Seperti penggunaan CCTV, various sensors, kamera, GPS dan lain-lain. Namun, saat ini terjadi peningkat surveillance, karena berbagai alat-alat pemantauan dilegalkan, apalagi dengan kondisi saat ini, kegiatan surveillance diwajibkan untuk menjaga keamanan masyarakat.

Bahkan beberapa media juga ikut berperan dalam menormalisasi surveillance, seperti memberikan informasi mengenai bagaimana melakukan surveillance dan penyadapan WhatsApp terhadap orang terdekat. “Serangan online maupun tidak online seperti data yang kita simpan di komputer pribadi pun rentan mengalami tracing, kalau berdasarkan data dari WHO kasus seperti ini mengalami peningkatan lima kali lipat selama pandemi. Jika dilihat secara makro peran perempuan di masa pandemi memiliki beban dan risiko secara struktural ditambah dengan beban ganda domestik, yang dipindah atau bahkan dipaksa menjadi tanggungan individu. Hal ini membuat ancaman keamanan sangat mudah terjadi, seperti terancamnya data-data pribadi. Semua ini disebabkan karena perbedaan perlindungan dan penggunaan fasilitas saat bekerja di kantor dengan bekerja di rumah,” kata Kathleen, Manajer Program Digital Rights EngageMedia sekaligus pendiri PERIN+IS C2O Library.

Beberapa langkah dapat dilakukan untuk mengatasi ataupun meminimalisir terjadinya KBGO, yakni dengan memberikan pemahaman mengenai data privasi, serta pemahaman mengenai consent (konsen) dalam penggunaan data consent. Sebab biasanya KBGO ini diawali dengan data pribadi yang sudah dipegang oleh pelaku, yang membuat relasi kuasa menjadi timpang sehingga terjadilah kekerasan. Karena itu perempuan perlu dibekali dengan pemahaman ekosistem dunia digital dan mengetahui bagaimana karakteristik dunia digital.

Kolaborasi antarlembaga, seperti lembaga pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas, juga diperlukan dalam usaha mengatasi dan meminimalisir terjadinya KBGO. Pun anak-anak muda dapat berperan dalam melakukan literasi digital, karena mereka dianggap cukup mampu menyaring informasi yang tersebar di dunia maya. Yang perlu ditekankan literasi digital tidak hanya mengenai bagaimana memilih informasi yang baik atau tepercaya saja. Melainkan juga tentang bagaimana mengamankan data digital atau pribadi yang mereka miliki.

Rekaman diskusi dapat disimak di sini: https://youtu.be/evdbLbt27Gs.[]

1 posts

About author
Mahasiswa Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Articles
Related posts
ARTIKELBERITA

Tingkatkan Literasi Digital Dan Mitigasi Kebencanaan Bagi Komunitas Sekolah Dasar Di Pesisir Jawa Selatan

Combine Resource Institution atau CRI melaksanakan program Peningkatan Jaringan Internet Sekolah & Keamanan Pelatihan Internet Bagi Guru, Orangtua, dan Murid di Wilayah…
ARTIKELULASAN

Rangkai Jejak Pelatihan Pelindungan Data Pribadi untuk Organisasi Masyarakat Sipil

Pelatihan PDP untuk OMS dilaksanakan berseri selama tiga kali (September-November 2023) dengan melibatkan total 102 peserta dari 51 OMS yang tersebar di seluruh nusantara.
ULASAN

Catatan Perjalanan APrIGF 2023 dan Langkah Panjang Menuju Keadilan Data

Pada gelaran Asia Pacific Regional Internet Governance Forum (APrIGF) 2023 di Brisane, Australia, Combine fokus menyuarakan isu atas hak privasi, kebebasan sipil,…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *