Kami sadar betul bahwa hingga hari ini, peringatan Hari Pers Nasional yang jatuh pada tanggal 9 Februari—ditetapkan di masa Orde Baru—masih menjadi polemik. Namun kami ingin beranjak dari polemik tersebut untuk melihat hal yang lebih krusial perihal situasi pers nasional.
Pada akhir 2019, catatan kasus kekerasan terhadap pegiat pers dan jurnalis masih tinggi. Hingga 23 Desember 2019, kasus kekerasan terhadap jurnalis mencapai 53 kasus. Kekerasan ini tidak hanya bersifat verbal, intimidasi, maupun kekerasan fisik, tetapi juga sampai menyebabkan kematian. Kasus pembunuhan yang terjadi pada jurnalis baru-baru ini terjadi pada November 2019, menimpa Maraden, mantan wartawan mingguan lokal, Pilar Indonesia Merdeka (Pindo Merdeka). LSM internasional yang fokus pada advokasi kebebasan pers dan informasi, Reporter Without Borders, mengategorikan kebebasan pers di Indonesia ke dalam ‘situasi yang sulit’, berada pada ranking 124—bahkan di bawah Malaysia (123) dan Afghanistan (121).
Bertahun-tahun hari pers diperingati, baik skala nasional maupun internasional, kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia belum juga mereda. Keberadaan regulasi, seperti UU Pers, yang bertujuan melindungi kepentingan pers—termasuk para aktornya, nyatanya belum memberi jaminan keamanan. Di sisi lain, ada entitas pers ‘pinggiran’ seperti jurnalis warga dan pegiat media komunitas yang tak kalah rentannya, terlebih karena tidak ada perlidungan hukum yang jelas bagi mereka.
Mereka juga kerap dihalang-halangi dan dianggap sebagai media abal-abal karena tidak berstatus badan hukum atau dianggap sebagai bukan media profesional. Hal ini semakin menjadi pelik, lantaran di era digital mereka juga harus waspada terhadap Undang-Undang Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dapat disalahgunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis warga dan pegiat media komunitas.
Kebebasan pers seharusnya dapat dinikmati oleh semua pihak; tidak hanya pekerja media tetapi juga warga yang terbukti memberi cukup banyak kontribusi dalam proses produksi informasi melalui teknologi digital dan Internet—UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan iformasi dengan segala saluran yang tersedia (Pasal 28F).
Saat ini semua orang dapat melakukan praktik jurnalisme tanpa harus bekerja di media massa atau perusahaan pers berbadan hukum. Melalui gawai masing-masing, mereka dapat menyiarkan informasi kepada warga yang lain. Maka sudah semestinya, jurnalis warga dan pegiat media komunitas diberi tempat dalam regulasi agar hak mereka sebagai warga negara bisa diwujudkan. Apresiasi juga patut diberikan kepada mereka karena berkat inisiatifnya, telah memungkinkan warga di sekitarnya untuk mendapatkan informasi yang relevan dengan kehidupan hariannya.
Terlepas dari perdebatan kapan hari pers semestinya diperingati, jaminan keamanan bagi jurnalis—baik bagi jurnalis profesi maupun jurnalis warga—masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu didorong untuk segera diatasi oleh negara.[]