Selama ini meski menjadi bagian tak terpisahkan dari desa, masyarakat berkebutuhan khusus tidaklah mendapatkan prioritas yang riil dalam UU Desa. Masyarakat berkebutuhan khusus bukan hanya penerima manfaat langsung dari pelaksanaan UU Desa, namun juga bagian dari sumber daya manusia yang ada di desa.
Keterbatasan anggaran dan kewenangan, selama ini sering dijadikan alasan pemerintah desa untuk tidak melibatkan seluruh kelompok masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan. Sejak UU Desa disahkan, hal ini tidak bisa lagi digunakan sebagai alasan untuk eksklusif dan tidak transparan.
Gelontoran dana 1,4 Milyar yang diberikan secara bertahap dari pusat ke desa tersebut bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakat di desa. Amanat tersebut tercantum dalam pasal 3 UU Desa tentang Pengaturan Desa berasaskan rekognisi, subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan dan keberlanjutan. Artinya bahwa partisipasi dan kesetaraan dalam pengaturan desa juga patut inklusi. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pertanggungjawaban menjadi ruang strategis bagi difabel untuk ikut terlibat.
Berdasarkan latar belakang itulah, Combine Resource Institution (CRI) pun bersedia saat digandeng Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) membantu realisasi program Rintisan Desa Inklusi (RINDI). Program yang didukung oleh Asia Foundation ini menggunakan Sistem Informasi Desa (SID) sebagai salah satu indikator Desa Inklusi. Prinsip inklusif, sebagai salah satu prinsip SID yang dikembangkan oleh CRI, akan mendapatkan pengayaan perspektif baru melalui kerja sama ini.
Delapan desa lokasi program RINDI terbagi di Kabupaten Sleman dan Kulon Progo. Sleman ada dua desa yaitu Desa Sendangtirto, Kecamatan Berbah dan Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati. Sedangkan untuk enam desa lainnya di Kabupaten Kulonprogo, yakni Desa Sidorejo, Desa Gulurejo, Desa Ngentakrejo, desa Wahyuarjo, Desa Jatirejo, dan Desa Bumirejo yang semuanya di Kecamatan Lendah.
Pengelolaan Data dan Informasi Melalui SID
Akhir 2014 lalu, sebelum ada kesepakatan kerjasama program, SID pertama kali dipaparkan dalam workshop tematik Menuju Desa Inklusi yang diselenggarakan SIGAB. Lokakarya lanjutan bertajuk “Desa Inklusi, Implementasi UU Desa dan Gagasan Menuju Desa Inklusi” pun diadakan untuk mempertajam konsep pengelolaan data yang inklusi. Pentingnya pengelolaan data dan informasi juga digarisbawahi oleh Irman Ariadi dalam bukunya Indonesia Dalam Desa Inklusi, bahwa kita harus memanfaatkan peluang dalam UU Desa terkait manajemen informasi di desa agar data yang inklusi terpenuhi.
Dalam kerangka program, kegiatan diawali dengan pemaparan konsep dasar SID bagi tim SIGAB, fasilitator RINDI, dan pemerintah desa. Materinya antara lain konsep SID, kolaborasi multipihak untuk menyukseskan penerapan SID, sekilas tentang aplikasi, pengelolaan data, pengelolaan infomasi dengan konsep jurnalisme warga, dan pemanfaatan SID. Diskusi yang pernah dilakukan antara CRI dan SIGAB yang dilakukan setelah pemaparan konsep dasar adalah konten data untuk analisis difabel di SID.
Secara aplikasi, penambahan fitur SID adalah dengan menambahkan indikator pendataan difabel yang diadopsi dari instrumen pendataan dari The Wahsington Group on Disability Statistic di Modul Analisis. Kelengkapan data dari indikator pendataan tersebut nantinya akan digunakan lebih lanjut untuk melakukan Analisis Difabel.
Berdasarkan hasil pemetaan di delapan desa, tim CRI yang diwakili oleh Irman Ariadi, Rizka Himawan, dan Zani Noviansyah mencatat berbagai temuan. Pertama, data kependudukan belum lengkap dan pengelolaan masih manual. Sebenarnya untuk pengelolaan data menggunakan sistem informasi, Kabupaten Kulonprogo telah menyepakati kerjasama dengan Badan Prakarsa Pembangunan Desa dan Kawasan (BP2DK) untuk menjalankan Sistem Informasi Desa dan Kawasan (SIDeKa) di desa-desa di Kulon Progo. SIDeKa ini dikembangkan oleh BP2DK yang dimotori oleh Budiman Sudjatmiko dan teman-temannya eks Seknas Jokowi. Namun, di Kecamatan Lendah daerah implementasi program RINDI, penerapan SIDeKa praktis mandeg sejak pertama disosialisasikan.
Kedua, belum semua desa menaruh perhatian pada difabel khususnya dalam perencanaan dan penganggaran desa. Hal tersebut disebabkan karena minimnya data difabel yang dimiliki desa dan masih minimnya perspektif difabel di pemerintah desa. Beberapa desa sudah memberikan ruang partisipasi bagi difabel untuk terlibat dalam proses tersebut, namun hal tersebut tidak diimbangi dengan penyediaan infrastruktur fasilitas publik yang mudah diakses oleh difabel. Minimnya partisipasi juga disebabkan oleh faktor psikologis individu berkebutuhan khusus, mulai dari minder dan tingkat pendidikan yang rendah.
Sesuai dengan alur pengembangan SID di CRI, beragam penguatan kapasitas baru dilakukan setelah tim pengelola SID terbentuk. Yang unik dari program ini adalah tim pengelola SID sejak awal memang dirancang mengakomodir masyarakat berkebutuhan khusus atau minimal relawan inklusi dari desa tersebut. Materi penguatan kapasitasnya tidak berbeda dengan pelatihan SID reguler yaitu memperdalam materi yang telah disampaikan pada pemahaman konsep dasar di awal kegiatan. Yakni konsep sistem, metodologi data, pengenalan aplikasi, dan pemanfaatan SID.
Hasilnya, sebagai proses penerapan SID di delapan desa percontohan ini masih tergolong sangat awal. Setiap desa telah menjalankan proses penerapan SID, khususnya membangun basis data kependudukan dan input data difabel. Data tersebut ke depan akan digunakan untuk mendukung olah data tentang isu inklusi agar utuh masuk dalam tata kelola perencanaan dan pembangunan desa.
Selain pengelolaan data, program ini juga mendorong pengelolaan informasi publik oleh pemerintah desa dan jurnalisme warga oleh kelompok masyarakat. Penerjemahan konsep inklusi dalam media desa seperti SID ini tidak lantas dimaknai sekedar menampilkan data dan informasi tentang warga difabel. Namun, pengelolaan data dan informasi yang terbuka dan partisipatif yang memungkinkan seluruh proses pengambilan keputusan dan perencanaan menjadi utuh itu merupakan wujud dari konsep inklusivitas juga. Sayangnya, dalam kegiatan tidak ada alokasi waktu khusus untuk pelatihan jurnalistik untuk jurnalis warga yang menjadi tim pengelola website desa. Sehingga pada akhir program pengelolaan informasi di website desa belum signifikan.
Sebagai contoh website desa yang sudah mulai aktif dikelola oleh jurnalis warga, bisa menilik Desa Sidorejo, Lendah, Kulon Progo di http://sidorejo-kulonprogo.sid.web.id. Meski belum maksimal, desa tersebut berupaya memperbaruhi informasi baik kegiatan desa, potensi desa, dan isu inklusivitas.
Capaian lain terkait keberadaan Kelompok Difabel Desa (KDD) sudah diakui secara resmi dengan SK Kepala Desa dan mampu mendorong anggaran di tingkat desa. Ke depan, kelompok ini akan terlibat dalam proses musrenbangdes. Pemerintah Desa Sendangadi juga telah mengalokasikan anggaran desa untuk ODDS di tahun 2016. Proses ini menjadi dasar pendukung berjalannya inisiatif Sistem Informasi Desa (SID) yang diawali dari data difabel dan isu inklusi. Proses olah data awal dengan dukungan SID secara umum sudah berjalan di Desa Sendangadi.
Nuryanto salah satu anggota Komunitas Desa Difabel (KDD) Desa Bumirejo Kulonprogo juga menjelaskan bahwa dengan adanya transformasi desa, maka desa mampu membuat ritisan desa inklusi difabel dengan berinisiatif KDD.
“Akhirnya dengan inisiatif tersebut, KDD terbentuk dan diresmikan tahun 2015 sebagai organisasi desa di Desa Bumirejo. Ketika ada musyawarah dusun, para difabel berinisiatif untuk ikut berpartisipasi dalam musyawarah. Kemudian juga ikut berpartisipasi dalam musyawarah kecamatan,” ujarnya.
Strategi Tindak Lanjut
Secara formal, enam bulan program kerjasama telah berakhir pada Juni 2016. Berdasarkan hasil evaluasi bersama antara CRI, SIGAB, delapan desa percontohan, fasilitator desa, kader difabel desa, dan beberapa SKPD terkait ada beberapa strategi tindak lanjut program.
Pertama, pemberdayaan kelompok difabel adalah salah satu strategi untuk menumbuhkan kepercayaan diri agar mampu terlibat dalam ruang-ruang strategis desa. Namun, hal tersebut harus dibarengi dengan membangun kesadaran inklusi di pemerintah desa dan supra desa. Ketika kesadaran tersebut sudah dibangun, melibatkan kelompok difabel dalam proses perencanaan dan pembangunan desa dalam musyawarah desa merupakan suatu keharusan. Kehadiran tersebut setidaknya turut mengawal masalah dan kebutuhan kelompok difabel terakomodir dalam perencanaan.
Kedua, Tim SID di sejumlah desa belum menguasai seluruh fungsi dalam aplikasi SID 3.04. Hal ini disebabkan oleh perwakilan desa yang dihadirkan dalam setiap pelatihan SID yang digelar tersebut berbeda, sehingga kapasitas yang terbangun tidak utuh. Meskipun secara formal program RINDI ini telah selesai, peningkatan kapasitas tim SID dapat dilakukan secara mandiri dengan memanfaatkan modul belajar yang sudah ada. Selain peningkatan kapasitas secara mandiri, adanya tim SID di tingkat desa juga perlu mendapatkan SK Kepala Desa. Adanya SK kepala desa tersebut untuk memperkuat legitimasi dan menantang tim SID untuk mempertanggungjawabkan kerja-kerjanya.
Ketiga, terkait ruang pemanfaatan yang belum terbaca dan minimnya tanggapan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam forum evaluasi program, maka diperlukan audiensi lanjutan di kedua kabupaten untuk mengerucutkan dan mengawal tindak lanjut program RINDI. SKPD akan selalu menjadi ujung tombak integrasi SID dengan sistem informasi daerah dalam rangka penguatan kualitas perencanaan dan pembangunan yang inklusif.
Fenomena sekarang ini label “Desa Inklusi” banyak disandang oleh desa-desa. Namun, hanya berhenti pada urusan livelihood dan layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Padahal, dalam perwujudannya, konsep inklusi seharusnya menjangkau semua aspek kehidupan warga. Dengan dukungan data dan informasi yang akurat, mutakhir, dan terbuka, gagasan inklusi yang dimulai dari tingkat desa dengan pemanfaatan penerapan SID diharapkan bisa segera terwujud dan berdampak secara nyata manfaatnya bagi masyarakat. (My)