Sejumlah lembaga masyarakat sipil menilai bahwa hak-hak digital di Indonesia, khususnya di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, belum menjadi isu penting bagi publik. Padahal, pelanggaran hak-hak digital dari tahun ke tahun semakin banyak terjadi.
Situasi tersebut tergambar dari diskusi media pada Rabu (14/06/2023) di Yogyakarta yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Diskusi in kerja sama AJI Yogyakarta dengan SAFEnet, Combine Resource Institution (CRI), dan Center for Digital Society (CFDS) Universitas Gadjah Mada.
Dalam pengantarnya, Ketua AJI Yogyakarta Januardi Husin mengatakan, pentingnya hak-hak digital tersebut seiring dengan semakin tingginya ketergantungan kita saat ini terhadap perangkat digital. Namun, ketergantungan itu juga memunculkan isu lain, seperti peretasan, pembatasan akses Internet hingga praktik pengintaian.
Oleh karena itu, menurut Januardi, jurnalis yang bekerja untuk publik harus memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang isu keamanan digital. “Selain untuk menjaga informasi pribadi dan publik, keasadaran akan hak-hak digital perlu diperdalam agar jurnalis terhindar dari tindak kekerasan,” katanya.
Januardi menambahkan dari 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2022, 15 kasus di antaranya berupa serangan digital dan 8 kasus penyensoran. Tindakan doxing atau kekerasan berbasis gender online terhadap jurnalis makin meningkat dan beragam.
Maraknya serangan digital sendiri hanya salah satu tantangan dalam pemenuhan hak-hak digital di Indonesia. Perdana Karim, peneliti CfDS, menjelaskan hak-hak digital memang relatif menjadi isu baru di Indonesia. Padahal, isu ini sangat penting karena terkait erat dengan aktivitas digital kita sehari-hari.
Secara garis besar, menurut Karim, hak-hak digital adalah hak asasi manusia yang berlaku di ranah digital. Hak-hak ini mencakup, antara lain, hak untuk mengakses Internet, hak untuk bebas berekspresi, dan hak atas rasa aman. “Setiap orang harus memiliki kebebasan berekspresi, untuk berbagi dan menyampaikan informasi secara bebas di internet tanpa sensor atau gangguan lainnya,” katanya.
Namun, berdasarkan pemantauan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), situasi hak-hak digital di Indonesia semakin memburuk. Dalam Laporan Situasi Hak-hak Digital 2022, SAFEnet bahkan menyebut hak-hak digital di Indonesia telah ambruk jika melihat dari tiga domain, yaitu hak untuk mengases Internet, hak untuk bebas berekspresi, dan hak atas rasa aman.
Berdasarkan pemantauan sepanjang tahun 2022 telah terjadi gangguan akses Internet setidaknya 36 kali. “Papua masih menjadi wilayah paling banyak mengalami pemutusan akses Internet,” kata Andreas Takimai, sukarelawan dan peneliti SAFEnet.
Dari sisi kebebasan bereskpresi, sepanjang tahun 2022 setidaknya terjadi 97 kasus pemidanaan terhadap ekspresi di ranah digital dengan jumlah terlapor sebanyak 107 orang. Jumlah ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan 2021 yaitu 30 kasus dengan 38 orang korban kriminalisasi. “Peningkatan drastis ini sekaligus menempatkan tahun 2022 sebagai tahun dengan jumlah pemidanaan terbanyak dalam 9 tahun terakhir,” Andi menambahkan.
Indikator lain memburuknya situasi hak-hak digital adalah maraknya serangan digital yang mencapai 302 kali. Angka itu meningkat dibandingkan dua tahun sebelumnya yaitu 147 insiden (2020) dan 193 insiden (2021).
Selain serangan digital dan kebocoran data pribadi, robohnya hak-hak digital juga masih terlihat dari maraknya KBGO. Selama 2022, terdapat 698 aduan, naik 21 kasus dibandingkan 2021. “Salah satu hal yang perlu diwaspadai dari maraknya kasus KBGO ini adalah semakin banyaknya korban di kalangan anak-anak,” kata Andi.
Manajer Program Combine Ferdhi Putra menambahkan, ketika melihat di skala lokal, seperti di Yogyakarta dan Jawa Tengah, situasi hak-hak digital tersebut juga menghadapi banyaknya tantangan. Di antaranya adalah masih belum meratanya akses Internet di beberapa daerah. Pelambatan internet juga pernah terjadi di daerah yang tengah mengalami konflik agraria seperti di Wadas, Purworejo. Diduga karena terkait aktivitas politik warga.
Selain itu, serangan digital juga marak terjadi pada aktivis. Ferdhi mencontohkan pada Februari 2022, akun media sosial Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengalami peretasan. LBH Yogyakarta adalah salah satu organisasi masyarakat sipil yang intensif mendampingi warga Wadas yang menolak penambangan batuan andesit di wilayahnya. Selain itu, serangan digital akun media sosial dan WhatsApp juga dialami oleh aktivis yang bersolidaritas dan warga Wadas itu sendiri.
“Dalam situasi ini, konsolidasi masyarakat sipil, di mana pun, sesungguhnya mutlak dibutuhkan. Aktivis dan pegiat prodemokrasi perlu membangun mekanisme mitigasi yang efektif agar dapat meminimalisasi atau mencegah dampak yang lebih buruk dari ancaman-ancaman tersebut,” tegas Ferdhi.[]
Foto: Bambang Muryanto