Digitalisasi menisbikan pengumpulan data pribadi di berbagai platform atau aplikasi yang dikembangkan oleh badan-badan publik. Namun sayangnya, inovasi digitalisasi tidak cukup dibarengi dengan jaminan perlindungan data yang mumpuni.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelayanan publik di Indonesia sangat birokratis dan berbelit. Dampaknya, pelayanan publik menjadi lamban dan ada begitu banyak kebutuhan warga yang tertunda bahkan terbengkalai. Salah satu sebabnya adalah kultur birokrasi yang cenderung bersifat feodalistik. Birokrasi di Indonesia, menurut Zaenur Rohman, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM, alih-alih melayani masyarakat, sebagian besar masih menganut paradigma melayani pemimpin atau penguasa. Praktik tersebut bahkan terjadi hingga hari ini.
Hal tersebut disampaikan olehnya dalam Diskusi Kelompok Terarah (FGD) Peran Pusat-Pusat Perubahan dalam Upaya Peningkatan Pelayanan Publik, di kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kota Yogyakarta, 18 Mei 2022, yang diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB).
Problem tersebut memang coba diubah oleh pemerintah melalui pembentukan Kemenpan RB pada 2009. Seiring waktu, perubahan-perubahan tersebut, terutama dalam hal pelayanan publik dan kultur birokrasi memang kian nampak, meski masih terdapat pekerjaan rumah besar untuk dapat mencapai bentuk idealnya.
Salah satu cara yang digunakan adalah digitalisasi aspek pelayanan publik. Transformasi digital memang menjadi keniscayaan. Berbagai aspek kehidupan mau tak mau harus beradaptasi dengannya. Tak terkecuali pada aspek pelayanan publik.
Dalam beberapa tahun terakhir, terutama di masa pandemi, digitalisasi pelayanan publik semakin masif. Tujuannya, pertama, memanfaatkan teknologi terbaru agar dapat membantu proses-proses pelayanan publik yang nyaris tak pernah libur; kedua, memberikan pelayanan publik yang optimal bagi masyarakat. Asisten Deputi Pemberdayaan Partisipasi Masyarakat Kemenpan RB, Insan Fahmi mengatakan, bahwa digitalisasi pelayanan publik dapat meminimalisasi praktik korupsi.
Namun, tentu saja digitalisasi bukan jawaban dari semua persoalan birokratisme dalam pelayanan publik. Pasalnya, proses digitalisasi yang berlangsung masih berorientasi pada alat. Padahal selain alat, ada kebutuhan untuk meningkatkan kapasistas sumber daya manusia, baik di kalangan birokrat itu sendiri maupun masyarakat yang menggunakan layanan tersebut. Tidak jarang ditemukan, misalnya, pegawai pelayanan publik yang kurang cakap menggunakan teknologi. Pun demikian di masyarakat, terutama di kalangan penduduk senior yang jarang bersentuhan dengan teknologi digital. Oleh karena itu, penguatan kapasitas dalam hal kecakapan penggunaan teknologi perlu terus didorong.
Konsekuensi lain yang timbul akibat digitalisasi pelayanan publik adalah soal perlindungan data pribadi penduduk. Digitalisasi menisbikan pengumpulan data pribadi di berbagai platform atau aplikasi yang dikembangkan oleh badan-badan publik atau instansi pemerintah. Namun sayangnya, inovasi digitalisasi tidak cukup dibarengi dengan jaminan perlindungan data yang mumpuni. Hal tersebut mestinya mendapat perhatian serius dari badan-badan pemerintah.
Ferdhi F. Putra, Manajer Unit Pengelolaan Informasi Komunitas CRI, yang hadir dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa seharusnya pemerintah mulai memperhatikan aspek perlindungan data pribadi penduduk.
“Kendalanya memang kita belum punya regulasi perlindungan data yang komprehensif. Kita punya RUU Perlindungan Data Pribadi, tetapi hingga saat ini belum juga disahkan karena tarik ulur kepentingan pemerintah dan DPR. Meski begitu, badan-badan pemerintah yang memberikan pelayanan publik harus mulai memberi perhatian serius terhadap aspek ini,” kata Ferdhi dalam diskusi tersebut.
Ia juga mengatakan, kasus-kasus kebocoran data pribadi kerap terjadi di situs-situs milik pemerintah. Itu menjadi indikator bahwa jaminan keamanan data di platform-platform milik pemerintah sangat lemah.
Selain Zaenur dari PUKAT UGM, Tenti Novari Kurniawati dari Perkumpulan IDEA dan Nurwidihartana, Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Kota Yogyakarta, turut menjadi pemantik diskusi. Diskusi dipandu langsung oleh Asisten Deputi Pemberdayaan Partisipasi Masyarakat Kemenpan RB, Insan Fahmi.[]