Urgensi data kemiskinan yang akurat kian meningkat di masa pandemi. Sebab, data itulah yang digunakan oleh pemerintah untuk menentukan siapa saja yang berhak menerima bantuan sosial bagi warga terdampak COVID-19.
Akan tetapi, ada persoalan ketidaksinkronan data kemiskinan yang dikelola oleh pemerintah daerah dengan yang tercatat di pemerintah pusat. Sejak awal pandemi, pemerintah daerah selalu menjadi pihak yang dituding oleh kementerian/pemerintah pusat sebagai biang keladi kisruh data kemiskinan. Mulai dari keengganan memperbarui data hingga seringnya pemerintah pusat menyatakan kentalnya kepentingan politis kepala daerah dan kepala desa sebagai penyebab utama data kemiskinan yang buruk.
Padahal, data kemiskinan yang akurat sebenarnya telah mampu dicapai oleh beberapa daerah. Prinsip-prinsip tata kelola data yang diatur dalam Perpres No. 39/2019 telah diterapkan oleh daerah-daerah tersebut guna mencapai terciptanya kesejahteraan masyarakatnya.
Salah satu kabupaten yang telah berupaya untuk mengelola data kemiskinannya dengan baik adalah Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Akurasi data kemiskinan yang dimiliki cukup dapat dipertanggungjawabkan melalui rangkaian metode pemutakhiran mandiri, yang dimungkinkan oleh regulasi. Pemkab Gunungkidul bahkan telah memiliki model integrasi data kemiskinan dari desa ke kabupaten untuk menjamin akurasi dan partisipasi.
Akan tetapi, upaya Pemkab Gunungkidul untuk meningkatkan kualitas data melalui sistem tata kelola data yang lebih terencana masih mengalami banyak hambatan. Salah satu hambatan terbesar itu ialah kebijakan tata kelola data di pemerintah pusat yang tidak sama dengan di daerah. Hal ini terungkap dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) “Satu Data Kemiskinan: Bisakah Berharap kepada Pemda?” pada 26 Agustus 2021, yang diselenggarakan secara virtual.
“Terjadi deviasi antara DTKS (pusat) dan data nyata yang ada di pemerintah daerah,” terang Wakil Bupati Gunungkidul, Heri Susanto. Ketidaksinkronan itulah yang menyebabkan pengelolaan data kesejahteraan berantakan, sehingga memicu terjadinya kasus bantuan sosial salah sasaran.
Kabupaten Gunungkidul menggunakan Sistem Informasi Desa (SID) Berdaya dan Sistem Informasi Kabupaten (SIKAB) untuk mengelola data kemiskinan di wilayahnya. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengintegrasikan data-data kesejahteraan sosial yang diverifikasi dan divalidasi di tingkat desa. Data yang telah dihimpun dari desa dianggap lebih akurat, sebab desa adalah lini paling dasar yang paling paham dengan potensi maupun kondisi di sekitarnya.
Pernyataan Heri sejalan dengan yang diutarakan oleh Elanto Wijoyono yang telah lama mendampingi proses penerapan SID Berdaya dan SIKAB di Gunungkidul. Ia menjelaskan bahwa desa-desa masih belum sepenuhnya berdaulat untuk memproduksi data-data yang sesuai dengan program kesejahteraan mereka sendiri. Hal tersebut disebabkan oleh lemahnya relasi antara pemerintah pusat dengan daerah.
Elanto memaparkan bahwa sebetulnya, pemerintah pusat melalui Kementrian Sosial telah membuka peluang integrasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) bagi pemda yang telah memiliki platform/sistem informasi yang dapat memenuhi prinsip interoperabilitas data dengan aplikasi Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial – Next Generation (SIKS-NG). Hal tersebut diatur dalam Permensos 5/2019. Gunung Kidul merupakan salah satu kabupaten yang telah mencoba peluang tersebut melalui SIDB pada tahun 2018 dan 2019. Akan tetapi, Kementrian Sosial kemudian mengubah peraturan yang mengarahkan semua proses pengolahan langsung ke SIKS-NG pada tahun 2020.
“Data-data yang diproduksi untuk pemenuhan program banyak yang kemudian langsung terkirimkan ke pusat,” jelas Elanto, Manajer Unit Pengelolaan Sumber Daya Komunitas Combine Resource Institution. Dampak dari kebijakan tersebut adalah kualitas DTKS di Gunungkidul mengalami penurunan, sehingga menyebabkan terjadinya bantuan tidak tepat sasaran.
Dalam kesempatan yang sama, Agung Hardjono, Tenaga Ahli Utama Kedeputian II Kantor Staf Presiden, mengusulkan agar pemerintah pusat bersama daerah rutin mengadakan forum dan capacity building dengan fokus bahasan regulasi tata kelola data yang terintegrasi. Koordinasi harus dilakukan secara antarlevel yang melibatkan desa sebagai sumber data kesejahteraan sosial, lalu naik ke pemda, pemprov, hingga pusat.
Agung menambahkan bahwa diperlukan proses dan koordinasi yang panjang untuk mencapai target mensejahterahkan warga melalui tata kelola data yang solid oleh antarlevel pemerintahan. Ia juga menegaskan bahwa pihak pusat akan selalu membuka ruang bagi pemda untuk bersama-sama melakukan integrasi data dengan berpayung pada Perpres Satu Data.
Selain membutuhkan hubungan antarlevel pemerintah, Elanto mengungkapkan bahwa isu satu data ini juga harus melibatkan peran publik, termasuk keikutsertaan pihak media di dalamnya. Bhekti Suryani, Redaktur Harian Jogja yang juga anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengatakan bahwa selama ini, di Provinsi Yogyakarta secara umum, tidak mudah mendapatkan data yang akurat dan dapat diakses oleh publik.
“Walaupun sekarang adalah rezimnya data terbuka, tapi sebenarnya kondisi di lapangaan tidak semudah seperti yang disampaikan oleh pemerintah, ” kata Bhekti. Padahal, pers dalam hal ini dapat berperan sebagai penghubung antara pemerintah dengan masyarakat. Melalui media, pemerintah dapat menyampaikan program kerja, terutama yang terkait dengan isu satu data, kepada masyarakat dengan lebih terjangkau, selain melaui kanal-kanal informasi yang dikelola oleh pemerintah sendiri.
Hambatan dalam proses pengintegrasian data, terutama DTKS, sebenarnya bukan lagi perihal teknik pengumpulan datanya, melainkan permasalahan kebijakan antarlevel pemerintahannya yang belum terpadu. Oleh sebab itu, dibutuhkan kerja sama antara pemerintah pusat, daerah, masyarakat itu sendiri, dan media sebagai penghubung semua pihak untuk mencapai satu data Indonesia.[]