Selama bertahun-tahun, sudah tidak terhitung jumlah diskusi, artikel, berita, seminar, talk show, dan beragam media lain yang membahas topik pengelolaan data oleh pemerintah. Mayoritas berujung kesimpulan senada bahwa akurasi data pemerintah masih jauh panggang dari api. Dan, kabar yang menguar dari fakta di lapangan pun nyaris selalu sama, yakni tentang ketidaktepatan program untuk warga yang berakibat pemubaziran anggaran hingga korupsi.
Datangnya pandemi Covid-19 tidak lantas membuat munculnya komitmen untuk mengurai ruwetnya persoalan data. Pandemi justru jadi apologi untuk “meminta” permakluman kusutnya data –yang penting bantuan bisa turun cepat. Data yang valid sudah tak pernah lagi dibahas, diganti dengan kegagapan demi kegagapan menangani dampak pandemi bagi keselamatan, kesehatan, dan ekonomi.
Buruknya kualitas data akhirnya berhenti di perdebatan, bahkan tidak sedikit kalangan birokrasi yang merasa tidak ada masalah dengan buruknya data yang dimiliki. Mereka ini cenderung melakukan perencanaan kerjanya didasarkan pada “kebiasaan” dan bukan kebutuhan. Regulasi yang dihasilkan tidak mencerminkan perubahan sikap dan cara berpikir, mirip dengan saat bicara tentang korupsi.
Disahkannya Perpres No. 39/2019 tentang Satu Data Indonesia (SDI) yang dianggap terobosan besar karena sudah dirancang bertahun-tahun lalu pun, bukan berarti pil ajaib yang bekerja instan. Penyakit laten di birokrasi sudah terlampau banyak dan berlapis sehingga butuh kerja amat keras untuk memulai tahap demi tahap SDI. Mulai dari ego sektoral, keengganan “menambah beban kerja”, hingga saling tuding antara pemerintah pusat dan daerah adalah hal yang diakui atau tidak masih sulit hilang.
Ambil contoh kiwari saja, bisakah dijelaskan dan dipertanggungjawabkan asal dan akurasi data penerima bantuan ratusan triliun rupiah dalam rangka Covid-19, baik berupa bansos, BPUM, dan sebagainya? Data penerima bansos bahkan sudah menimbulkan kisruh sejak awal, antara lain saat sebagian penerimanya di hampir seluruh daerah ternyata sama sekali tidak termasuk warga miskin.
Bila bicara data kemiskinan, secara regulasi kewajiban pemerintah daerahlah untuk melakukan pembaruan data seperti tercantum dalam Permensos No. 5/2019 tentang Pengelolaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Poin ini yang dari dulu menjadi dasar pemerintah pusat menuding pemerintah daerah sebagai pihak yang paling bersalah dalam kisruh data penerima bansos.
Tapi bila bicara realitas, sebenarnya tudingan tersebut bisa diperdebatkan. Tidak sedikit daerah yang sebenarnya telah mampu membuktikan tata kelola data yang relatif baik, termasuk di dalamnya mekanisme dan ketersediaan data yang integratif bahkan partisipatif dari tingkat desa. Sayangnya justru praktik ini sulit mendapatkan ruang integrasi dengan sistem pengelolaan data yang dikembangkan pemerintah pusat. Padahal prinsip utama dalam Perpres SDI adalah dapat dibagipakaikan alias ruang integrasi data mestinya dibuka lebar-lebar.
Dalam konteks data kemiskinan misalnya, maka ada praktik baik satu data dari desa yang sudah dilakukan di beberapa tempat, termasuk Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu daerah termiskin. Sejak 2018, melalui Sistem Informasi Desa (SID) Berdaya dan Sistem Informasi Kabupaten (SIKAB) yang dimiliki, Pemda Gunungkidul menyebutkan telah menerapkan siklus data melalui pengumpulan data dari tingkat desa yang kemudian diintegrasikan di tingkat kabupaten. Hal ini pernah terungkap dalam sebuah diskusi bertajuk “Satu Data Kemiskinan” pada 24 September 2019, yang juga dihadiri Pusdatin Kemensos, Bappenas, dan Bangda Kemendagri.
Satu data dari desa berarti desa akhirnya memiliki ruang dan wewenang mengelola datanya sendiri sebagai basis perencanaan pembangunan desa. Ini sesuai dengan semangat dasar UU No. 6/2014 tentang Desa. Selama ini desa menjadi ujung tombak pengumpulan data apapun oleh level pemerintah di atasnya, namun data tersebut ternyata sekadar disetorkan langsung ke sistem milik kementerian/lembaga. Desa tidak memiliki dan mengelola datanya sendiri.
Merujuk pada penjelasan Pemda Gunungkidul, integrasi di tingkat daerah dapat terjadi dengan mekanisme agregasi dari seluruh desa dengan penerapan protokol data agar bisa dibagipakaikan antarsistem, tidak hanya di kabupaten melainkan juga tingkat pusat untuk data sektoral lain secara bertahap. Prinsip interoperabilitas ini juga sesuai dengan ketentuan dalam Perpres SDI. Frekuensi pembaruannya dilakukan setahun sekali, setidaknya untuk kemiskinan sebagai data sektoralnya. Hasil berupa data yang didapatkan dari proses ini membuat mereka yakin akan dapat memperbaiki perencanaan pembangunan sekaligus realisasi program pengentasan kemiskinan karena acuan datanya sudah jauh lebih baik.
Konsep, siklus, dan mekanisme perwujudan satu data terlihat mulus. Namun, sekitar pertengahan Juni 2020 masalah penyaluran bansos ternyata juga terjadi di Gunungkidul. Banyak data penerima yang tidak akurat yang memunculkan ribuan penerima yang terdaftar tidak bisa mencairkan bantuan. Lalu di mana masalahnya? Apakah satu data yang telah dicapai di Gunungkidul tak lebih dari klaim semata seperti halnya beberapa daerah yang kerap disanjung-sanjung pemerintah pusat meski ternyata yang mereka miliki sebatas “pengumpulan dan penyajian data secara terpusat di satu laman” dan bukan “pengelolaan satu data”?
Niat Mengintegrasikan
Masalah pertama pada pengelolaan data oleh pemerintah desa dan daerah adalah pada acuan data dasar. Seperti sudah direkomendasikan hampir seluruh pihak, untuk bisa mencapai satu data di Indonesia maka semua sistem data mestinya berpijak pada Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Saat ini data dinamika kependudukan dikelola oleh Kemendagri dalam wadah Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Meski kerap diberitakan bahwa kemendagri telah bekerja sama dengan lebih dari seribu institusi baik swasta maupun pemerintah terkait akses data kependudukan, namun tidak sedikit pemda yang merasa kesulitan untuk mendapatkan akses data kependudukan. Padahal akses ini mutlak dibutuhkan sebagai data dasar sistem pengelolaan data di desa dan daerah.
Sistem data yang dikelola desa dan daerah jelas bukan sistem yang akan digunakan untuk menggantikan fungsi SIAK. Data kependudukan yang dibutuhkan lebih berupa data berdasarkan periode tertentu (cutting period) alias bukan yang data berjalan. Data periodik itu digunakan sebagai basis verifikasi dan validasi data sektoral yang dikelola melalui sistem data di desa dan daerah, sehingga pijakan datanya sama yaitu NIK. Data sektoral yang dimaksud misalnya data kemiskinan, data kesehatan, pendidikan dsb. Jadi tidak dibukanya akses integrasi dengan SIAK, tidak cukup hanya akses melihat data, maka satu data apapun yang terkait penduduk akan sulit dicapai.
Masalah kedua adalah tentang “pengakuan” akan data yang dihasilkan daerah. Prinsip bisa dibagipakaikan seperti dipersyaratkan dalam Perpres SDI ternyata tidaklah cukup jika bicara satu data dari desa. Ada yang lebih dibutuhkan, yaitu kesepakatan pemerintah pusat dan daerah bahwa data dari daerahlah yang akan menjadi rujukan kebijakan bagi realisasi program baik oleh pemerintah pusat, daerah, dan desa. Tentu dengan catatan, syarat mekanisme verifikasi dan validasi telah diterapkan secara ketat dan benar oleh pemerintah daerah.
Tanpa pengakuan ini, maka yang akan terus terjadi adalah desa dan daerah terus diwajibkan menyetorkan data yang yang telah diverifikasi dan validasi ke pemerintah pusat, namun ketika dikembalikan dalam bentuk data yang telah disahkan, data tersebut ternyata tidak sama dengan yang disetorkan. Inilah salah satu sumber kisruh penyaluran program selama ini.
Jika menilik Permensos No. 5/2019, betul bahwa pemda yang bertanggung jawab melakukan verifikasi data. Namun penetapannya toh tetap dilakukan oleh menteri sosial. Di sinilah masalah klasiknya.
Dalam diskusi bertajuk “Bantuan Sosial di Tengah Pandemi” yang digelar secara daring oleh Sigmaphi pertengahan Mei lalu, Kepala Desa Sukamantri, Cisaat, Sukabumi Andi Rusmawan mengatakan, pihaknya selalu melakukan verifikasi terhadap data kemiskinan dari pusat. Tetapi saat data tersebut disahkan oleh Kementerian Sosial dan kembali lagi ke desanya untuk digunakan sebagai rujukan, datanya selalu berbeda dengan yang dia kirim. Hal serupa ternyata terjadi di banyak tempat, termasuk Pemda Gunungkidul.
Menghindari debat berkepanjangan tanpa ujung dengan pemerintah pusat, beberapa pemda akhirnya membuat strategi. Misalnya memutuskan program yang didanai APBD dan APBDes akan merujuk satu data yang dimiliki pemda. Sedangkan program yang bersumber dari APBN akan menggunakan data yang dikirimkan kementerian.
Berdasarkan Perpres SDI, Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) yang ada di beberapa kementerian berperan sebagai satu-satunya pintu keluar masuk data. Karena prinsipnya adalah berbagi pakai, maka mindset tim di dalamnya maupun proses yang dijalankan harus terbuka. Desa dan daerah yang berniat mengintegrasikan data, jelas bukan ingin menggantikan peran Pusdatin, melainkan ingin dapat mengelola data yang telah mereka verifikasi sendiri dalam wadah yang dimiliki. Ruang inilah yang akan membuat daerah bersama desa memiliki rujukan data yang sama, yang dihasilkan dan diverifikasi secara partisipatif, inklusif, dan transparan.
Terjebak Aplikasi
Selain terkait alur dan mekanisme, soal aplikasi dari dulu juga menjadi masalah laten tata kelola data di Indonesia. Hampir setiap kementerian/lembaga, pemda bahkan desa memiliki aplikasi yang tak jarang memiliki fungsi serupa. Kecenderungan ini setidaknya bisa berarti dua hal.
Pertama, adanya pola pikir yang masih mendudukkan aplikasi di atas prinsip, konsep dan peta jalan. Salah satu pemicunya karena kelatahan mendefinisikan smart city bahkan smart village dengan jalan pintas: memiliki banyak aplikasi. Kedua, orientasi pada aplikasi adalah ujung dari pola pikir berorientasi proyek. Nilai pengadaan dan perawatannya sangat besar dan relatif lebih mudah serta cepat direalisasikan ketimbang menjalani serangkaian proses pematangan konsep melalui koordinasi antarsektor.
Sejak UU Desa mulai diterapkan dan di dalamnya menyebut soal sistem informasi desa di Pasal 86, kecenderungan jual-beli aplikasi tanpa kesiapan matang sangat marak di desa-desa. Pemerintah desa dibuat silau dengan fitur dan kemewahan tampilan dari aplikasi yang ditawarkan banyak pihak pada mereka. Namun nyaris tidak ada yang memahamkan desa tentang prinsip pengelolaan data sekaligus penguatan kapasitas yang diperlukan. Padahal semakin banyak pemerintah desa yang sekadar menjadi “korban” aplikasi alih-alih meletakkan fondasi konsep, semakin jauhlah visi satu data dari desa dan semakin berlanjut cerita desa sebagai pelaksana teknis belaka.
Integrasi data bukan soal teknologi dalam bentuk aplikasi belaka, karena sebenarnya yang justru lebih penting adalah hal-hal mendasar seperti persepsi, koordinasi, dan komitmen mewujudkan data yang lebih berkualitas sebagai rujukan bersama. Regulasi barulah langkah awal.
Harus diakui perwujudan satu data dari desa tidak mudah, tapi saat ini mungkin paling realistis karena sumber data adalah desa. Sehingga memperbaiki kualitas dan alur data dari desa sama dengan membenahi keruwetan dari hulunya. Konsep ini sebenarnya sudah mulai teruji, sangat sayang jika harus mati dini hanya karena faktor politis yang berujung komitmen setengah hati.[]
*) Artikel ini sebelumnya dimuat di detik.com