Namanya Ambara. Ia warga Desa Karang Bajo, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, NTB. Agak berbeda dengan kebanyakan warga lainnya, ia seorang difabel netra sejak lahir. Selebihnya, sebagaimana warga lain, tak ada yang berbeda dengannya.
Saya mengenalnya sekira enam tahun yang lalu, ketika sedang menggarap video dokumenter tentang sebuah media warga di desanya, radio komunitas Primadona FM. Dari situlah saya tahu bahwa ia salah satu penyiar di radio komunitas tersebut.
Ambara sudah terlibat dalam kegiatan bermedia di Primadona FM sejak radio komunitas itu berdiri pada 2002. Saat itu usianya 19 tahun. “Saya ikut rakom (radio komunitas) dari antena [masih] bambu, dari alatnya masih kocar-kacir,” kata Ambara. Di masa-masa awal, Primadona FM memang tampil apa adanya. Selain menggunakan antena bambu, peralatan siar lainnya mengandalkan barang elektronik bekas pakai yang sebagiannya merupakan sumbangan warga sekitar. Ambara mengaku memberanikan diri datang ke studio—kamar yang “disulap” menjadi studio di rumah seorang warga—dan bilang kepada pengelolanya, “saya mau gabung.” Dan, “Alhamdulillah, diterima dengan baik.” Sejak saat itulah ia rutin bermedia di Primadona FM.
Di rakom tersebut, Ambara menjalankan dua fungsi. Pertama, sebagai penyiar. Ia memegang program siaran “Selemor Ate”, yakni program khusus yang memutarkan lagu-lagu daerah berbahasa Sasak, bahasa lokal Lombok. Selain memegang program sendiri, ia juga kerap kali menggantikan penyiar yang berhalangan hadir. “Ambara sering membantu on air di pagi hari, menggantikan penyiar yang telat bangun,” ujar Hafiz, salah satu pengelola Primadona FM. Ambara tak pernah keberatan. Secara normatif ia memberi tahu alasannya bergabung di rakom adalah, “ingin membatu masyarakat dalam hal informasi.” Baginya, bersiaran adalah sebuah kesenangan tersendiri. Bonus lainnya, ia mendapatkan popularitas. Ia dikenal warga di sekitar Desa Karang Bajo. Bila berkunjung ke desa-desa tetangga, ia disambut bak primadona.
Fungsi keduanya adalah menjadi pemantau audio, semacam quality controler. Ambara bertugas memeriksa kualitas audio saat on air. Dari rumahnya, atau dari tempat di mana ia berada saat itu, ia memantau siaran, dan akan menghubungi orang yang ada di studio bila ada yang dianggapnya kurang pas.
Awalnya, sebagai awam yang jarang berinteraksi dengan kawan-kawan difabel, saya meragukan kemampuan Ambara. Melihatnya bergiat di media warga, membuktikan asumsi saya tentang difabel keliru besar. Apa yang disampaikannya bukan klaim belaka. Saya menyaksikan ia bersiaran secara langsung. Kemampuannya bersiaran, tak saya ragukan. Ia dengan fasih berbicara di depan mikrofon dengan intonasi yang lugas. Kapasitasnya mungkin setara penyiar-penyiar “profesional” di radio swasta. Dalam setiap siaran, ia memang masih dibantu rekan-rekan lainnya, terutama untuk menyetel alat siar, membacakan permintaan lagu yang masuk lewat SMS, dan menyiapkan lagu yang akan diperdengarkan. “Karena ‘kan saya tidak bisa komputer,” terangnya.
Inklusivitas media warga
Dalam banyak praktik bermedia, terutama di media-media komersial, orang-orang seperti Ambara sangat sulit mendapatkan ruang, lantaran dianggap tidak efisien dan efektif (Ellis, 2016:4). Atau boleh dikatakan, menghambat akumulasi profit. Tapi tidak demikian di media warga.
Ciri utama media warga adalah karakter inklusinya. Secara sederhana media warga dapat dimaknai sebagai media “dari, oleh, dan untuk warga.” Media warga menjadi ruang bagi publiknya untuk berinteraksi dan berbagi—tenaga dan pikiran, dengan tujuan memakmurkan komunitasnya. Keran partisipasi dibuka selebar-lebarnya bagi setiap anggota, tak ada yang dikecualikan. Bentuk partisipasinya bisa bermacam-macam. Dari sekadar request lagu dan berkirim salam, hingga terlibat dalam produksi informasi dan hiburan seperti yang Ambara lakukan. Di masa awal Primadona FM berdiri, ketika kaset masih menjadi sumber hiburan utama, tidak jarang warga yang menyumbangkan kasetnya kepada pengelola rakom agar lagu favorit mereka bisa diperdengarkan lewat radio. Contoh-contoh ini adalah praktik lumrah yang dialami oleh hampir setiap radio komunitas.
Media warga, dengan segala prinsip yang melekat padanya, menghilangkan “barrier” yang memutus akses kalangan-kalangan tertentu seperti kaum difabel, terhadap media. “Barrier” yang dimaksud di sini adalah semacam standar yang biasanya diberlakukan media komersial untuk mencapai visi perusahaannya. Misalnya, tuntutan memenuhi target profit atau standar kualitas tertentu. Pengelolaan media warga yang cenderung “mengalir” dan dengan semangat kekeluargaan memungkinkan kelompok marjinal seperti kaum difabel terlibat. Kalimat ini jangan disalahpahami bahwa difabel sama dengan berkualitas rendah. Kualitas, sebagaimana terilustrasikan dalam peran Ambara sebagai pemantau siaran, tetap menjadi perhatian media warga. Hanya saja, media warga tidak menjadikan kualitas sebagai acuan atau tujuan utama sehingga mengeliminasi talenta-talenta yang dianggap tidak kompatibel.
Fakta bahwa orang-orang seperti Ambara juga berdaya, khususnya dalam bermedia, adalah gambaran bahwa sebetulnya difabilitas bukan sesuatu yang menubuh, melainkan berakar pada prasangka, dan berujung pada diskriminasi. Dan ini tidak terjadi secara interpersonal, sebagaimana yang pernah saya rasakan, melainkan tersirat dalam representasi budaya, bahasa, dan kehidupan bermasyarakat (Shakespeare, 1994).
Media warga sebagai produk budaya sebetulnya dapat menjadi wahana untuk mereduksi diskriminasi terhadap kaum difabel. Dengan segala karakteristiknya, media warga bisa memfasilitasi para aktor yang terlibat di dalamnya untuk bisa berinteraksi dan saling memahami apa yang dibutuhkan teman di dalam komunitasnya. Hafiz, misalnya, mengatakan bahwa Ambara diperlakukan sama dan setara dengan anggota-anggota yang lain. Perlakuan “istimewa” diberikan hanya apabila Ambara menjadi disable tatkala berhadapan dengan infrastruktur yang betul-betul menghambatnya. Misalnya, membantu menempuh jalanan terjal berbukit ketika berkunjung ke desa tetangga. Atau membantunya turun dari motor dan masuk ke studio, karena ketiadaan infrastruktur fisik yang dapat membuat Ambara lebih mandiri. Dengan kata lain, rekan-rekannya hanya “menggantikan” fungsi infrastruktur yang tidak ada di tempat itu.
Ambara dan radio komunitas Primadona FM adalah potret kecil bagaimana media warga dapat menjadi ruang emansipatoris bagi difabel dan kelompok-kelompok marjinal lainnya. Dan yang perlu diingat, ada banyak praktik emansipatoris lainnya yang dilakukan media warga dalam rangka memakmurkan komunitas. Dan tentu saja, memakmurkan kemanusiaan.[]
Daftar Pustaka
- Ellis, Katie. (2016). Disability Media Work: Opportunities and Obstacles. New York: Palgrave Macmillan.
- Shakespeare, Tom. (1994). Cultural Representation of Disabled People: Dustbins for Disavowal?, Disability & Society, 9:3, 283-299, DOI: 10.1080/09687599466780341