Jurnalisme perlu dilihat sebagai bagian dari hak dan kewajiban warga negara. Dengan demikian, jurnalisme bukan lagi menjadi hak istimewa yang hanya bisa dikuasai oleh sekelompok orang.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Remotivi Roy Thaniago dalam diskusi publik bertajuk “Ketika Jurnalis Dipidana: Bagaimana Masa Depan Media Komunitas?”. Selain Roy, diskusi yang digelar pada Rabu (19/09) tersebut menghadirkan Aris Mulyawan (Koordinator Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Kota Semarang), Rahmat Ali (Sekretaris Jenderal Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia) dan Ferdhi F. Putra (Combine Resource Institution) sebagai pemantik. Kegiatan yang dihelat sebagai respons atas kriminalisasi yang dialami oleh jurnalis serat.id Zakki Amali ini mengupas masa depan media non-perusahaan pers, terutama terkait dengan jaminan perlindungan hukum.
Roy menjelaskan bahwa landasan moral bagi praktik jurnalisme harus diubah supaya praktik jurnalisme warga memiliki landasan yang lebih kuat untuk mendapatkan perlindungan hukum. Landasan moral jurnalisme bukan lagi untuk melayani warga, tetapi juga menempatkan peran warga dalam praktik tersebut sehingga mereka tidak hanya menjadi konsumen informasi. Oleh karena itu, jurnalisme perlu dilihat sebagai bagian dari hak dan kewajiban warga sehingga mereka bisa melakukan jurnalisme. “Jadi, bukan lagi journalism for citizenship, melainkan journalism as citizenship," katanya.
Lontaran Roy itu disampaikan menanggapi kecenderungan banyak pihak yang melihat jurnalisme dari aspek industri sehingga mengabaikan posisi warga di dalamnya. Keharusan media untuk menjadi perusahaan pers yang berbadan hukum agar dapat melakukan praktik jurnalisme secara legal itu tersemat dalam Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Padahal, praktik jurnalisme telah banyak dilakukan oleh jurnalis warga maupun para jurnalis pegiat media komunitas.
Cara pandang industri semacam itu membuat kehadiran jurnalis warga dan media komunitas kurang mendapat dukungan. Jaminan perlindungan hukum bagi jurnalis warga dan media komunitas pun terabaikan karena statusnya yang tidak berbadan hukum. Menurut dia, praktik jurnalisme di Indonesia sebetulnya tidak lahir dari kerja-kerja profesional atau industri, melainkan datang dari warga biasa. “Sejarah pers kita dimulai dengan orang-orang tidak profesional. Tidak ada yang berprofesi sebagai wartawan murni, ada yang sebagai pedagang kelontong, petani dan lain-lain,” jelas Roy.
Sayangnya, praktik jurnalisme oleh warga seringkali direpresi oleh pihak-pihak yang berkuasa. Represi ini bisa berupa kriminalisasi maupun tuduhan bahwa pewartanya menyebarkan hoax. Roy menilai, isu hoaks dimonopoli oleh penguasa untuk memelintir informasi yang berasal dari warga. “Hal ini serta-merta membungkam warga dalam mewartakan suatu peristiwa. Pada akhirnya, informasi yang dipercaya harus berasal dari sumber yang memiliki otoritas tertinggi,” katanya.
Ancaman pidana terhadap Zakki Amali menjadi salah satu contoh yang menunjukkan bahwa praktik jurnalisme oleh media non-perusahaan dianggap tidak kredibel. Aris Mulyawan menjelaskan, artikel yang ditulis Zaki telah sesuai dengan metode dan kode etik jurnalistik. “Sayangnya, karena serat.id tidak berbadan hukum dan Zakki belum melakukan tes uji kompetisi wartawan, tulisannya dianggap hoax,” kata Aris.
Menurut Aris, Zakki dilaporkan menggunakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik. Di Jawa Tengah, Zaki adalah jurnalis pertama yang dikriminalisasi menggunakan UU ITE alih-alih UU Pers.
Ancaman pidana maupun kekerasan terhadap jurnalis warga dari media non perusahaan itu juga dialami para pegiat pers mahasiswa. Rahmat Ali menuturkan, berdasarkan survei PPMI pada 2017, sebanyak 80 persen pers mahasiswa pernah mengalami kekerasan. Ada beragam bentuk kekerasan yang mereka alami. "Ada perusakan karya, pembubaran diskusi, pembreidelan, pembekuan, dan paling banyak adalah intimidasi sebanyak 66 kasus," ujarnya.
Aktor-aktor yang melakukan kekerasan atau pembungkaman didominasi oleh pihak kampus. Selain itu, pegiat pers mahasiswa juga kerap dihalang-halangi saat hendak melakukan liputan meski mereka sudah membawa kartu pers. “Mereka menganggap kami bukan jurnalis. Kami hanya dianggap sebagai mahasiswa yang sedang belajar jurnalisme saja,” jelasnya.
Ferdhi F Putra menjelaskan bahwa kasus kekerasan terhadap jurnalis yang bergiat di media komunitas juga terjadi setiap tahun. Bentuknya mulai dari ancaman, teror hingga dilaporkan ke polisi.
Menurut dia, upaya melindungi jurnalis warga dan pegiat media non-perusahaan kian sulit karena Dewan Pers membagi media dalam empat kuadran. Kuadran pertama adalah media yang dianggap jelas, yakni berbadan hukum atau berbentuk berbadan hukum. Kuadran pertama ini diisi oleh media arus utama. Kuadran kedua adalah media non-perusahaan yang kurang jelas statusnya. Dalam kuadran ini, Dewan Pers menempatkan media rintisan, media komunitas, dan lembaga pers mahasiswa. Sementara itu, di kuadran ketiga terdapat media hoax, dan propagandayang menyinggung SARA. Sementara di kuadran terakhir, Dewan Pers menempatkan media kuning dan media partisan. Media-media tersebut sebetulnya terdaftar di Dewan Pers, namun secara konten tak sesuai dengan standar jurnalistik dan banyak melanggar kode etik jurnalistik.
Dengan mengacu pada kuadran tersebut, Ferdhi menilai bahwa jurnalisme saat ini hanya dimaknai sebagai profesi dalam kerangka industri saja. Padahal, jurnalisme seharusnya dipahami sebagai metode. Melalui pemahaman tersebut, jurnalisme dapat dipraktikan oleh siapa saja dari berbagai kalangan. Sebab, jurnalisme pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban warga atas informasi.