BERITA

Ketika Mitigasi Erupsi Merapi Menjadi Hiburan Edukatif

Dibaca 3 Menit

Erupsi Merapi bukanlah bencana yang baru pertama kali dialami bagi warga di desa-desa di lereng Gunung Merapi. Demikian halnya dengan ketoprak dan jathilan yang sudah menjadi tradisi turun temurun di sana. Namun, ketika kedua seni tradisi itu berkolaborasi dengan pengetahuan mitigasi bencana erupsi Merapi, jadilah pertunjukan seni nan apik dan edukatif.

Bertempat di balai Desa Sidorejo, Kemalang, Klaten, kolaborasi ketoprak dan jathilan dalam rangka mitigasi bencana erupsi Merapi digelar untuk pertama kalinya di Kabupaten Klaten, (25/4). Pertunjukan bertajuk Sejarah Erenging Gunung Merapi, Asesirah Siogo Ing Beboyo ini melibatkan 80 pemain ketoprak dan jathilan dari dua desa di lereng Gunung Merapi, yakni kelompok “Ngesti Budoyo” dari Desa Sidorejo dan “Slogo Denowo” dari Desa Tegalmulyo. Ketoprak dan jathilan dipilih karena kecenderungan masyarakat di lereng Merapi yang lebih mudah memahami pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana melalui seni dibandingkan melalui diskusi ataupun penyuluhan.

“Kalau sosialisasi (tentang mitigasi bencana) lewat diskusi atau rapat-rapat warga sudah jenuh. Kami mengapresiasi sosialisasi lewat seni seperti ini karena bisa lebih mudah dan cepat sampai ke masyarakat,” kata Jumakir, kepala desa Sidorejo.

Udara dingin dan angin yang bertiup kencang di desa Sidorejo tak menyurutkan antusiasme warga untuk menyaksikan pertunjukan seni kolaborasi itu. Ratusan warga dari beberapa desa tetangga di lereng Merapi berduyun-duyun menyaksikan pertunjukan seni tradisi yang memang jarang digelar di desa mereka. Warga tak hanya memadati halaman balai Desa Sidorejo saja, namun juga memenuhi jalan raya. Panitia telah mengantisipasi membludaknya penonton dengan memasang layar putih besar untuk nonbar (nonton bareng) di depan balai desa. Bahkan, bagi warga yang tidak bisa datang di tempat acara, mereka bisa menyimak serunya pertunjukan itu melalui live streaming di radio.suarakomunitas.net dan gelombang radio komunitas 107,4 MHz.

“Selama ini belum pernah ada sosialisasi menghadapi bencana Merapi. Cara seperti ini (sosialisasi mitigasi bencana lewat pertunjukan seni-red) sangat bagus, mudah dimengerti wong ndeso seperti saya,” tutur Seti, warga asal Desa Sidorejo.

Puspo Enggar Hastuti selaku Kepala Seksi Kesejahteraan Sosial, Dinas Sosial Kabupaten Klaten menyambut baik inisiatif warga Sidorejo dan Tegalmulyo itu. Edukasi mitigasi bencana seperti itu juga bisa dikembangkan di desa-desa lain di lereng Merapi dengan menggabungkan seni dan kearifan lokal desa masing-masing.

“Pentas ini bisa menanamkan ke masyarakat bagaimana menghadapi dan mengantisipasi saat terjadi bencana. Mereka tidak hanya dikasih materi teoritis, namun juga lewat seni sehingga bisa dimengerti semua kalangan mulai dari anak-anak sampai orang tua. Sosialisasi kesiapsiagaan dalam bentuk seni seperti ini bisa dikembangkan di desa-desa lain yang disesuaikan dengan kondisi desa masing-masing,” kata Puspo ketika menghadiri pertunjukan tersebut.

Siogo Ing Beboyo Merapi
Sejarah Erenging Gunung Merapi, Asesirah Siogo Ing Beboyo mengisahkan kehidupan masyarakat di desa-desa di lereng Merapi. Tinggal di kawasan yang rawan bahaya erupsi gunung berapi membuat mereka harus selalu siap dan siaga terhadap bencana erupsi yang dapat terjadi kapan saja. Beberapa tokoh masyarakat berinisiatif memberdayakan warga untuk siap dan siaga menghadapi erupsi Merapi. Namun, tidak semua warga desa mendukung gerakan tersebut.

Hingga suatu hari, suhu udara di desa pun bertambah panas. Hewan-hewan mulai turun gunung. Begitu pula dengan burung-burung elang Jawa yang terbang mengitari langit di atas desa. Sepuluh penari jathilan dengan mahkota dari bulu-bulu burung pun muncul menari tarian Kukuli Yaksa dalam iringan gamelan yang rancak. Turunnya burung-burung elang Jawa dalam tarian Kukuli Yaksa atau Tarian Burung ini menjadi pertanda gunung Merapi akan segera meletus. Warga pun akhirnya sadar, kesiapsiagaan menghadapi erupsi sangat penting dilakukan untuk mengurangi resiko kerugian baik jiwa maupun material. Mereka pun bergotong royong dengan tetangga desa untuk evakuasi secara mandiri tanpa harus menunggu dievakuasi oleh pemerintah.

Tarian Kukila Yaksa menggambarkan turunnya burung-burung elang Jawa ketika gunung Merapi akan meletus.

“Lewat pentas ini, kami mengajak semua warga untuk melestarikan budaya Jawa dan juga menjaga lingkungan. Sebagai warga yang tinggal di lereng Merapi, kami juga harus siap siaga menghadapi bencana merapi dan harus menjalin gotong royong dengan desa-desa tetangga,” ungkap Subur, selaku sutradara dari Desa Tegalmulyo.

Tak sebatas menyuguhkan ketoprak dan jathilan saja, pertunjukan yang berlangsung sejak pukul 19.00 hingga 02.00 ini juga menghadirkan tari-tarian klasik nan apik. Tarian selamat datang oleh 6 remaja putri Desa Sidorejo membuka pertunjukan yang dihadiri oleh perwakilan 13 desa di Kecamatan Kemalang itu. Kehadiran penari cantik asal Jepang, Kaori Okado pun semakin menambah semarak malam seni itu dengan tarian Menak Koncar.

Pertunjukan kolaborasi ini merupakan kerjasama warga Desa Sidorejo, Kabupaten Kemalang Jawa Tengah melalui Radio Komunitas Lintas Merapi dengan Radio FMYY Jepang dan Combine Resource Institution Yogyakarta.

“Warga yang hidup di lereng Merapi menyadari, Gunung Merapi telah memberi mereka banyak keuntungan. Namun, mereka juga menyadari kenyataan hidup di lereng Merapi harus siap dengan bahaya erupsi yang setiap saat bisa mengancam kehidupan warga. Meningkatkan kesiapsiagaan warga menghadapi erupsi merapi dengan menggabungkan pengetahuan dan kearifan lokal seperti dalam pertunjukan ini lebih mudah diterima warga,” kata Junichi Hibino, selaku perwakilan dari Radio FMYY Jepang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *