BERITA

Status Medsos Bisa Berujung Penjara, Revisi Regulasi Mutlak Dilakukan

Dibaca 2 Menit

Ervani Emihandayani (29) jelas tidak pernah membayangkan bila status yang ditulisnya di akun grup Facebook Jolie Jogja Jewelry membuatnya harus berada di balik jeruji besi penjara. Status yang ditulisnya pada 30 Mei 2014 tersebut berawal dari kekecewaannya terhadap pihak manajemen Toko Jolie atas ketidakadilan terhadap Alfa Janto, suaminya.

Alfa pada 13 Maret 2014 diperintahkan oleh pihak manajemen untuk pindah tugas ke Cirebon. Namun karena alasan keluarga, dia pun menolak untuk dipindahtugaskan. Apalagi menurut Alfa di klausul kontrak kerja tidak ada yang menyebut tentang mutasi. Karena penolakan tersebut, Alfa Janto diminta mengundurkan diri dari perusahaan. Namun ternyata pengunduran diri tersebut tidak dibarengi dengan pemberian pesangon seperti yang telah dijanjikan sebelumnya.

Singkatnya, itulah penyebab Ervani kemudian menyampaikan keluh kesahnya melalui Facebook. Begini bunyi status itu:

“Iya sih Pak Har baik, yang enggak baik itu namanya Ayas dan Spv lainnya. Kami rasa dia enggak pantas dijadikan pimpinan Jolie Jogja Jewelry. Banyak yang lebai dan labil seperti anak kecil”

Tak dinyana, Dyas Sarastuti alias Ayas yang merasa namanya disebut dalam status tersebut lantas melaporkan Ervani ke Polda DIY pada 9 Juni 2014. Dua kali diperiksa oleh Polda DIY, berkas pemeriksaan Ervani dinyatakan lengkap dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Bantul pada 29 Oktober 2014. Pada saat yang sama Ervani pun langsung dimasukkan penjara yaitu LP Wirogunan Yogyakarta sambil menunggu persidangan.

Dalam persidangan pertama yang digelar 11 November 2014, tuntutan yang dijatuhkan jaksa kepada Ervani adalah pelanggaran pasal 27 ayat 3, yaitu “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Ervani juga dijerat pasal 45 UU yang sama yaitu “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”, serta pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Lebih dari seratus orang yang terdiri dari warga Dusun Gedongan, Desa Kasongan, Kecamatan Kasihan, Bantul ditambah dari LSM dan mahasiswa datang memberikan dukungan kepada Ervani pada sidang di Pengadilan Negeri Bantul itu. Mereka tergabung dalam Forum Solidaritas Korban UU ITE. Menurut Mahendra koordinator forum tersebut, keluh kesah yang disampaikan dalam status Ervani tidak ada unsur penghinaan, jadi berlebihan jika melihat Ervani berurusan dengan pidana.

“Kami menuntut pembebasan Emi (panggilan Ervani di kampungnya-red)”, ujar Retno Susanti, salah satu tetangga Ervani warga Dusun Gedongan yang ikut dalam barisan yang terus meneriakkan yel “Bebaskan Ervani” di depan gedung PN Bantul.

Sudah lebih dari tiga puluh kali pasal 27 ayat 3 UU ITE menuai korban. Sebelumnya di Yogyakarta juga sudah ramai dengan kasus yang menimpa Florence Sihombing. Ibu rumah tangga lain yang pernah menjadi korban adalah Prita Mulya Sari yang juga sempat ditahan selama tiga minggu di LP Wanita Tangerang.

Menurut Direktur Combine Resource Institution Akhmad Muharam, sejak diundangkan pada 2008 hingga kini UU ITE, terutama pasal 27, memang terus menuai kontroversi. Bahkan sebenarnya telah digugat beberapa kali ke Mahkamah Konstitusi yang hasilnya semua ditolak. Jalan lain yaitu melalui revisi di DPR juga gagal karena tidak masuk dalam prolegnas.

Begitu “karetnya” pasal 27 ayat 3 UU ITE ini membuat siapapun dapat dilaporkan dan melaporkan dengan mudah. Interpretasinya pun bisa sangat beragam. Bagi pihak yang percaya kedaulatan informasi, yaitu memproduksi, mengakses dan mendistribusikan informasi, adalah hak warga sekaligus kunci kemajuan bangsa, keberadaan regulasi ini tentu menjadi hambatan.

“Tapi kami tidak menyerah, demikian juga dengan begitu banyak pihak yang ingin menjaga hak berpendapat warga. Masih ada harapan di era kepemimpinan baru ini, termasuk dengan mengusulkan lagi dimasukkan ke prolegnas untuk dibahas oleh DPR yang baru. Itu sebabnya kampanye dan konsolidasi penting untuk terus dilakukan,” katanya.

Dia mencontohkan masih luasnya ancaman pasal ini adalah saat para pewarta warga cenderung khawatir memproduksi berita karena meski dilandasi fakta pun bisa saja dijerat dengan aturan ini. Padahal para pewarta warga ini perlindungan hukumnya masih cukup lemah meski keberadaannya sangat penting di saat media arus utama terbelenggu kepentingan modal dan politik.

“Kalau kembali ke kasus Ervani, selain mendukung pembebasannya kami juga berharap ini adalah kasus terakhir yang menggunakan pasal 27 sebagai dasar dakwaan. Revisi regulasi mutlak harus dilakukan,” tegasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *