Keliru bila menganggap pelaku civic literacy (literasi) adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Karena kenyataannya, banyak LSM berhenti mendampingi masyarakat ketika lembaga donor yang menjadi sumber pendanaan LSM kehabisan uang. Yang lebih sering dijumpai justru proses menuju literasi warga terhenti segera setelah LSM pergi dari wilayah programnya.
Hal itu diungkapkan oleh pegiat sosial dari Indonesian Society for Social Transformation (INSIST), Roem Toppatimasang, pada diskusi “Pemanfaatan TIK dan Media Komunitas untuk Civic Literacy” di Sanggar MeTIK, Yogyakarta. Hadir pula pembicara lain, yaitu Dosen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM Ary Dwipayana, dan senior advisor COMBINE Resource Institution Akhmad Nasir.
Menurut Roem, sudah saatnya LSM harus mengubah cara pandang dan pola kerja semacam itu. LSM harus mulai memperhatikan keberadaan titik sambung strategis antara pengorganisasian komunitas dengan media warga. Pola itu akan menjamin proses civic literacy yang diusung bersama antara warga dengan LSM terus berlanjut, kendati LSM sudah tidak berada di wilayah tersebut.
Roem mengartikan civic literacy sebagai proses pendidikan politik rakyat untuk melek sebagai warga negara punya dua kata kunci: mau dan tahu. Civic literacy sudah terwujud bila warga sudah mampu mengenal, mengurai, menilai dan memutuskan tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Namun, semua itu tak bermakna bila warga tidak menerapkan, mengembangkan, dan membagi kemampuan itu kepada warga lainnya sampai menyeluruh. “Intinya warga sadar akan kenyataaan dirinya dan punya kehendak untuk mengubahnya!” tegas Roem.
Namun, cukup sulit untuk mewujudkan civic literacy. Bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Menurut dosen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM Ary Dwipayana, harus dilalui dengan tiga tahap yang masing-masing saling berkelindan satu sama lain: menumbuhkan kesadaran warga, menguatkan kapasitas pengetahuan, dan kemampuan untuk bertindak. “Radikalisasi warga melalui pengetahuan harus diikuti oleh kemampuan warga dan LSM untuk membangun collective action. Tidak bisa bergerak sendiri-sendiri,” kata Ary.
Keterampilan collective action itu, menurut Ary, ada 5 poin. Pertama, memperkuat kemampuan mengorganisir atau mengelola tindakan kolektif untuk perubahan kebijakan. Kedua, memperkuat kemampuan untuk membangun argumen dan berdebat dalam agenda setting kebijakan. Ketiga, memperkuat kemampuan untuk memobilisasi tindakan kolektif untuk mempengaruhi kebijakan. Keempat, membangun sekutu dengan komunikasi perseuasif untuk memperluas aksi kolektif dalam mempengaruhi kebijakan. Dan terakhir, melembagakan civic literacy dalam keseharian warga.
Keliru bila menganggap pelaku civic literacy (literasi) adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Karena kenyataannya, banyak LSM berhenti mendampingi masyarakat ketika lembaga donor yang menjadi sumber pendanaan LSM kehabisan uang. Yang lebih sering dijumpai justru proses menuju literasi warga terhenti segera setelah LSM pergi dari wilayah programnya.
Hal itu diungkapkan oleh pegiat sosial dari Indonesian Society for Social Transformation (INSIST), Roem Toppatimasang, pada diskusi “Pemanfaatan TIK dan Media Komunitas untuk Civic Literacy” di Sanggar MeTIK, Yogyakarta. Hadir pula pembicara lain, yaitu Dosen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM Ary Dwipayana, dan senior advisor COMBINE Resource Institution Akhmad Nasir.
Menurut Roem, sudah saatnya LSM harus mengubah cara pandang dan pola kerja semacam itu. LSM harus mulai memperhatikan keberadaan titik sambung strategis antara pengorganisasian komunitas dengan media warga. Pola itu akan menjamin proses civic literacy yang diusung bersama antara warga dengan LSM terus berlanjut, kendati LSM sudah tidak berada di wilayah tersebut.
Roem mengartikan civic literacy sebagai proses pendidikan politik rakyat untuk melek sebagai warga negara punya dua kata kunci: mau dan tahu. Civic literacy sudah terwujud bila warga sudah mampu mengenal, mengurai, menilai dan memutuskan tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Namun, semua itu tak bermakna bila warga tidak menerapkan, mengembangkan, dan membagi kemampuan itu kepada warga lainnya sampai menyeluruh. “Intinya warga sadar akan kenyataaan dirinya dan punya kehendak untuk mengubahnya!” tegas Roem.
Namun, cukup sulit untuk mewujudkan civic literacy. Bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Menurut dosen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM Ary Dwipayana, harus dilalui dengan tiga tahap yang masing-masing saling berkelindan satu sama lain: menumbuhkan kesadaran warga, menguatkan kapasitas pengetahuan, dan kemampuan untuk bertindak. “Radikalisasi warga melalui pengetahuan harus diikuti oleh kemampuan warga dan LSM untuk membangun collective action. Tidak bisa bergerak sendiri-sendiri,” kata Ary.
Keterampilan collective action itu, menurut Ary, ada 5 poin. Pertama, memperkuat kemampuan mengorganisir atau mengelola tindakan kolektif untuk perubahan kebijakan. Kedua, memperkuat kemampuan untuk membangun argumen dan berdebat dalam agenda setting kebijakan. Ketiga, memperkuat kemampuan untuk memobilisasi tindakan kolektif untuk mempengaruhi kebijakan. Keempat, membangun sekutu dengan komunikasi perseuasif untuk memperluas aksi kolektif dalam mempengaruhi kebijakan. Dan terakhir, melembagakan civic literacy dalam keseharian warga.