BERITA

Kemenangan Kecil Ibu Rumah Tangga terhadap TV

Dibaca 2 Menit

Baru sedikit ibu-ibu rumah tangga di Desa Gadingsari, Sanden, Bantul, dan kampung Wirobrajan, Wirobrajan, Yogyakarta, yang mengaku intensitas mereka menonton televisi berkurang setelah tahu dampak buruk yang ditimbulkan oleh tayangan layar kaca. Ibu-ibu tersebut juga mulai sebatas menasehati anak-anaknya agar melakukan kegiatan lain daripada menonton televisi sepanjang hari di rumah. Banyak dari keluarga yang telah tahu keburukan televisi tapi belum mampu mengubah sikap terhadap kebiasaan menghabiskan waktu dengan televisi.

Walaupun menonton televisi adalah kegiatan sampingan dan pengisi waktu luang, tapi karena ketiadaan kerja formal membuat waktu luang ibu-ibu rumah tangga di Gadingsari dan Wirobrajan sering bersandingan dengan televisi. Ibu-ibu tersebut rerata paling gemar memirsai tayangan yang menyentuh emosi dan perasaan seperti (un)reality show dan sinetron. Dua acara yang menjadi favorit adalah “Jika Aku Menjadi” dan “Termehek-mehek”. Sedangkan anak-anak mereka lebih suka dengan tontontan kartun .

Demikian disampaikan oleh pemantau media Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta, Darmanto, dalam seminar “Ibu Rumah Tangga Melek Media”, Sabtu (21/2), di Hotel Grand Rosela, Prawirotaman, Yogyakarta.

Hadir pula sebagai pembicara dalam seminar tersebut, seorang ibu rumah tangga dari Desa Gadingsari, Rudiyah, dan seorang ibu rumah tangga dari kampung Wirobrajan, Ana Palupi, yang menyampaikan testimoninya mengenai keseharian menonton televisi di rumah dan perubahan kebiasaan setelah mengikuti pelatihan melek televisi yang dilaksanakan MPM di wilayah mereka selama 3 bulan.

Seminar ini sekaligus sebagai forum untuk menyampaikan hasil evaluasi pelaksanaan pelatihan melek media yang telah diadakan oleh MPM tiap hari minggu selama 3 bulan dari April-Juni 2011.

Menurut Darmanto, saat ini pemerintah dan pengawas televisi masih lemah dan tak berdaya menghadapi tayangan-tayangan televisi yang tidak bermutu dan mendidik. “Masyarakat harus tahu mana tayangan yang patut ditonton mana yang tidak,” tegasnya.

Sementara itu, Ana Palupi mengaku, sekarang sudah bisa membedakan tayangan yang layak dan tidak. Mulanya Ana terdorong mengikuti pelatihan MPM karena ingin menjadi ibu yang punya suatu bekal pengetahuan tentang televisi dalam keluarga. Setelah mengikuti pelatihan MPM, ia mulai berani membuat aturan menonton televisi dalam keluarganya. “Untuk pagi hari tidak ada televisi yang nyala. (Anak saya) yang SD dan SMP itu cuma boleh nonton 5-10 menit, terus belajar. Meskipun sebentar diusahakan belajar. Selebihnya saya beri kegiatan lain,” ungkap ibu beranak tiga ini.

Selain itu, hadir pula M Irsyadul Ibad, peneliti dari Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (INFEST) Yogyakarta yang menyampaikan hasil penelitiannya terhadap proses pelatihan MPM di Gadingsari dan Wirobrajan. Ibad menyimpulkan, walaupun belum terjadi perubahan mencolok setelah ibu-ibu ikut pelatihan, pengetahuan baru yang ibu-ibu dapatkan dari pelatihan MPM merupakan satu kemenangan kecil. Pelatihan yang melibatkan warga secara aktif telah memberanikan ibu-ibu untuk tampil dalam proses pengelolaan forum. Ibu-ibu juga sudah mulai menonton televisi dengan krits. Dan segera usai mengikuti pelatihan MPM ibu-ibu tersebut mulai berani menjadi fasilitator bagi ibu-ibu lain yang tidak mengikuti pelatihan.

KA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *