BERITA

Sarasehan “Aktivisme Sipil dalam Media Sosial” Bersama Dr.Yanuar Nugroho

Dibaca 3 Menit

Saat ini, Indonesia telah masuk dua besar pengguna Facebook di seluruh dunia. Artinya setara dengan seluruh penduduk Kanada. Untuk Twitter, sama dengan semua penduduk Singapura. Pesona Facebook dan Twitter kian meroket tatkala beberapa waktu lalu, kasus besar “Cicak vs Buaya” dan “Koin Prita” bahkan lebih ramai dibincang lewat keduanya ketimbang lewat media massa.  
Berhulu dari fenomena tersebut, Yanuar Nugroho, pengajar di Manchester University, itu mencoba mencari jawab perihal media sosial dan gerakan sipil. Apakah keduanya saling berhubungan? Antara penggunaan media sosial macam Facebook atau Twitter, dengan gerakan sipil di internet? “Tentu jawaban ini tidak bisa ditemukan dalam domain teknologi atau dalam domain social movement,” katanya, Jumat (24/6) di Bantul. Saat itu, ia menyampaikan hasil penelitiannya selama lima bulan (Agustus-Desember 2010) di Indonesia tentang gerakan sipil melalui media sosial.
Sebelumnya, pada awal April 2011, Yanuar Nugroho telah menyampaikan hasil penelitian yang berjudul @ksi Warga: Kolaborasi, Demokrasi Partisipatoris dan Kebebasan Informasi, Memetakan Aktivisme Sipil Kontemporer dan Penggunaan Media Sosial di Indonesia, itu di Manchester, Inggris. Lalu, pada pertengahan Mei 2011, ia juga menyampaikan laporan tersebut di Jakarta. Barulah pada akhir Juni kemarin, ia menyempatkan diri untuk menyampaikan langsung di selasar Combine Resource Institution (CRI), Bantul, DIY. “Sebagai pertanggungjawaban hasil penelitian dengan narasumber,” katanya.
Penelitian Yanuar melibatkan 289 kelompok, komunitas, dan organisasi masyarakat sipil. Tapi setelah proses data cleaning (pembersihan data), Yanuar hanya menganalisis 258 kelompok. Tidak lupa, ia juga melibatkan 35 aktivis senior dalam wawancara guna mendalamkan laporan.
Sebagai contoh, hasil laporannya dari Yogyakarta. Hari itu, 5 November 2010, seorang relawan Jalin Merapi pada erupsi Merapi 2010, mengabarkan ke induk Jalin Merapi, “Butuh donasi nasi bungkus 6000 malam ini.” Tapi belum ada tanggapan bantuan. Lantas, Akhmad Nasir, dari CRI, lembaga yang membantu proses Jalin Merapi, ngetweet malam itu juga, “butuh donasi nasi bungkus malam ini.” Dalam 30 menit, nasi bungkus sudah ada di tempat pengungsian posko Wedi, Klaten.
Kisah tersebut Yanuar rawikan di Manchester, April lau. Mereka yang mendengar cerita tersebut bilang, “Paralelnya dari cerita ini dalam peradaban manusia, itu hanya satu. Adanya di Injil. Ketika Yesus menggandakan lima roti dan dua ikan untuk 5000 orang,” kata Yanuar menirukan pernyataan mereka. “Cuma 5000, loh, kalah sama Twitter ini,” kelakar Yanuar.

Pada kasus lain di Aceh misalnya. Saat ramai isu bakal pemberlakuan hukum rajam dan potong tangan. Seorang aktivis bilang, “Saya tidak bilang kami sukses. Tetapi sekarang anak-anak muda mengerti isu ini, dan mau mendiskusikannya secara terbuka di sekolah. Dalam milis, bahkan beberapa pejabat di daerah, menolak gagasan hukum rajam dan potong tangan di Aceh.” Gerakan penolakan hukum rajam dan potong tangan tersebut mereka gerakkan di Facebook.“Gerakan Tolak Hukum Rajam dan Potong Tangan” di Aceh, dan “Peduli Korban Erupsi Merapi lewat Jalin Merapi”  jadi pijakan Yanuar akan aktivisme yang menyambungkan dunia on line dengan off line. Bagaimana kejadian di lapangan, lantas dikampanyekan lewat internet. Dan sukses.
Sugeng Widodo, aktivis dari Mitra Wacana, sebuah organisasi sipil yang aktif dalam gerakan pusat layanan informasi perempuan, kemudian bertanya dalam sarasehan itu, “Sebenarnya tren media sosial seperti apa? Relasi revolusi di Timur Tengah, misalkan, jika tidak ada pemicu riil, apakah juga bisa memacu revolusi sosial?”

Menanggapi pertanyaan Sugeng, Yanuar pilih merawikan satu kisah. Beberapa waktu lalu, ia punya mahasiswa bimbingan di Manchester yang meneliti tren Twitter di Iran. Bahan analisisnya ialah dua setengah juta tweet. Kasusnya: kampanye menolak perihal perempuan yang tidak boleh lihat sepakbola, dan hukum rajam. Mahasiswa itu menemukan, seluruh trending topik yang muncul, tidak pernah didorong oleh isu on line. Semuanya off line.
Yanuar juga pernah mendampingi seorang temannya yang meneliti soal revolusi sosial di Mesir beberapa waktu lalu. Lagi-lagi, yang ditemukan adalah, Trigger-nya (pemicu) sama: off line. Jadi salah kalau melihat, bahwa Facebook atau Twitter yang mengawali. “Semua kejadiannya selalu ada orang konkrit, yang diantemi (dipukuli), yang didzalimi, dan lain-lain. Lantas, diamplifikasi oleh on line,” tegas Yanuar.
Tetapi, Yanuar menggaris bawahi, kalau jejaring sosial itu bukan hanya Facebook atau Twitter. Mereka berdua hanya sebagai analsis jejaring sosial dengan metode kuantitatif. Sebelumnya, telah ada sejak tahun 1940-an, dengan nama Social Network Analysis (SNA). Jauh sebelum internet muncul. Dengan SNA yang bermodel sosiogram itu, ia memetakan siapa berhubungan dengan apa, siapa berhubungan dengan siapa, dan sejauh mana kualitas hubungannya.
Sarasehan yang didampingi oleh angkringan gratis itu, lantas diakhiri setelah hampir dua jam berlalu. Sebelum menutup obrolan senja itu, Yanuar memberi ingat pada yang hadir, yang sebagian besar dari aktivis sipil dan pengunjung bebas, kalau kemajuan teknologi, juga membawa bahaya. “Yang terjadi adalah pendangkalan,” kata Yanuar. Konsep keilmuan yang harus agak panjang penjelasannya, misalkan, oleh para pengikut kultwit, diminta ringkas dalam satu tweet. Dan pendangkalan tersebut kata Yanuar, “Justru menyerang generasi sekarang, yang masih duduk di SMP atau SMA.” (Khairul Anam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *